Sikap Orang Kafir (2)
Surat Al-Baqarah ayat 165-167
Dalam diri manusia terkadang muncul semacam peperangan batin. Antara memilih
yang hak dan yang batil. Terkadang timbul dalam hati manusia semacam
pertentangan antara mengabdi kebenaran yang berasal dari Allah atau mengabdi
kepada hawa nafsu. Sungguh beruntung orang yang dapat mengalahkan dan
menundukkan hawa nafsunya dan memihak kepada kebenaran yang diyakininya. Mukmin
yang baik yang diharapkan oleh Qs. Al-Baqarah [2]: 165 adalah orang yang
meletakkan kecintaan dan loyalitas kepada Allah di atas kecintaan kepada hawa
nafsu atau kepentingan pribadi.
Loyalitas kepada Allah dalam kehidupan di dunia ini tercermin, antara
lain, dalam bentuk loyalitas kepada aturan-aturan dan tuntunan yang digariskan
oleh Allah untuk kebahagiaan kehidupan manusia dimuka bumi. Tiadanya loyalitas
kepada Allah bisa berbentuk ketidakpatuhan kepada pedoman dan petunjuk-petunjuk
ilahi. Perilaku seperti ini juga dapat dianggap sebagai “mengambil yang selain Allah menjadi tandingan-tandingan” yang dikecam oleh Qs. Al-Baqarah [2]: 165.
karena menganggap bahwa “tandingan-tandingan” Tuhan itu memiliki
kekuatan seperti kemampuan
untuk dapat mendatangkan kebaikan dan kemampuan
menepis keburukan. Menurut Qs. Al-Baqarah [2]: 165, orang yang berperilaku
seperti itu termasuk orang dinilai sebagai orang-orang yang aniaya atau zalim
(alladzina zhalamul).
Anggapan bahwa “tandingan-tandingan” Tuhan itu memiliki kekuatan untuk
mendatangkan kebaikan menolak keburukan, dikecam oleh Al-Quar’an dengan
menyatakan bahwa kekuatan yang sesungguhnya untuk mendatangkan kebaikan dan
menolak keburukan pada hakikatnya milik Allah semua (anna-l quwwata lillahi
jami’anl). Bisa jadi mereka tidak menyadari hal ini dalam kehidupan di dunia,
dan baru mengetahuinya ketika azab sudah dihadapan mereka pada hari kemudian,
yang membuat mereka menyesal akan perilaku mempersekutukan Allah pada kehidupan
mereka di dunia.
Orang yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan niscaya pada hari
kemudian akan menyadari bahwa “tandingan-tandingan” Tuhan yang mereka puja dan
puji di dunia ternyata tidak memiliki kemampuan sedikitpun untuk menolong mereka
agar terhindar dari siksa di hari akhir nanti. Hal ini tegambar pada firman
Allah dalam Qs. Al-Baqarah [2]: 165 yang artinya: “Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).
Tidak sedikit orang yang berlaku zalim dengan menjadikan selain Allah
sebagai “tandingan” Tuhan karena sikap taklid atau “membebek” dengan mengikuti
perilaku orang lain tanpa berusaha secara sungguh-sungguh untuk mengecek
kebenaran perilaku atau pendapat orang yang diikutinya. Bisa jadi kesalahan
orang yang diikutinya baru diketahuinya dengan sangat terlambat, yaitu ketika
azab sudah di depan mata. Pada saat itu orang yang diikuti (alladzina-t tubi’ul)
berlepas dari dan tidak dapat memikul tanggung jawab kesalahan orang yang
mengikuti (alladzina-t taba’ul).
Orang yang melakukan taklid atau mengikuti (membebek) tidak dapat
menimpakan kesalahan kepada orang yang diikuti, karena orang yang mengikuti itu
juga ikut memiliki kesalahan dengan mengikuti pendapat orang lain tanpa
berupaya memeriksa kebenaran pendapat orang yang diikutinya. Pada saat itu
hubungan atara orang yang mengikuti dan orang yang diikuti menjadi terputus
sama sekali dan mereka tidak dapat saling tolong menolong. Qs. Al-Baqarah [2]:
166 secara jelas menggambarkan hal ini dengan firman-Nya, yang artinya: “(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu
terlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan
(ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali”.
Pada saat azab sudah didepan mata, orang yang melakukan taklid itu
merasa sangat menyesal karena telah mengikuti pendapat orang lain secara
keliru, tanpa memmeriksa kebenaran pendapat orang yang ditirunya. Dia sungguh berharap dapat
mengulang kembali kehidupannya di dunia sekali lagi agar dapat memperbaiki
kesalahannya.
Namun harapan tinggal harapan, yang tersisa hanya penyesalan yang amat
dalam. Tidak ada lagi kesempatan yang kedua pada kehidupan akhirat setelah
kesempatan yang sangat luas yang sudah diberikan pada kehidupan dunia. Ancaman hukuman
yang berat berupa kehidupan kekal di neraka menanti orang-orang yang melakukan
kemusyrikan. Penyesalan orang yang melakukan kemusyrikan yang membebek orang
lain yang salah, serta akibat yang nantinya akan diterimanya pada kehidupan
akhirat, digambarkan secara jelas oleh Qs. Al-Baqarah [2]: 167 yang artinya: “Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya
kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka,
sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”. Demikianlah Allah
memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan
sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.
Qs. Al-Baqarah [2]: 166-167 memberi tuntunan yang berharga bagi umat
islam agar tidak melakukan taklid atau mengikuti pendapat orang lain secara
membabi buta, tanpa berupaya mengetahui kebenaran pendapat orang yang diikuti. Sikap
taklid bisa menimbulkan penyesalan yang mendalam dikemudian hari, karena orang
yang taklid tidak bisa serta merta menimpakan kesalahan kepada orang yang
diikutinya, dan orang yang diikuti bisa jadi melepaskan seluruh
tanggungjawabnya atas segala kesalahan pendapatnya yang diikuti oleh orang lain
secara membabi buta.
Sumber:
SUARA MUHAMMADIYAH 17/100|1-15 SEPTEMBER 2015 HALAMAN: 20 - 21