Hakekat Orang Bangkrut
Dr Ali Trigiyatno
Pada dasarnya tidak ada orang yang mau mengalami kebangkrutan baik di
dunia atau di akhirat. Namun demikian, Nabi Muhammad saw dalam Hadits shahih
riwayat Imam Muslim menjelaskan orang yang akan mengalami kebangkrutan besuk di
hari kiamat sekaligus nasib akhirnya. Adapun bunyi lengkap Hadits itu adalah
sebagai berikut:
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bertanya kepada
para sahabat, “Tahukah kalian, siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat
menjawab,”Menurut kami, orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang
tidak memiliki uang dan harta kekayaan.” Rasulullah saw bersabda: “
Sesungguhnya umatku yang bangkrut adalah orang yang pada hari kiamat datang
dengan (pahala) shalat, puasa, dan zakat, tetapi sering mencaci-maki, menuduh
dan makan harta orang lain serta membunuh dan memukul orang lain. Setelah itu,
pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang dari mereka hingga
pahalanya habis, sementara tuntutan mereka banyak yang belum terpenuhi. Selanjutnya,
sebagian dosa dari setiap orang dari mereka diambil untuk dibebankan kepada
orang tersebut, hingga akhirnya ia dilemparkan ke neraka.” (HR Muslim 8/18)
Memperhatikan dan menyimak Hadits tersebut, ada beberapa pelajaran yang
dapat dipetik dari kandungan Hadits di atas yakni:
Pertama, hakikat kebangkrutan.
Rasulullah saw memancing sahabat dengan pertanyaan, tahukah kamu
siapakah orang yang bangkrut itu? Ternyata jawaban sahabat masih mengacu pada
kebangkrutan secara materi, di mana orang yang tidak memiliki harta apa-apa
itulah yang dinamai orang bangkrut. Nabi sendiri meluruskan jawaban ini, karena
hakikat sesungguhnya dari orang bangkrut ada di akhirat nanti, serta
kebangkrutan yang mengerikan justru ada pada kebangkrutan yang mengerikan
justru ada pada kebangkrutan amal kelak di hari kiamat.
Kedua, cirri orang yang akan bangkrut di akhirat nanti ditandai bahwa
orang itu shalih secara ritual (individual), yakni orang tersebut rajin shalat,
tertib puasa, dan rutin membayar zakat. Namun disayangkan ia tidak shalih
secara social ditandai dengan banyaknya kesalahan yang ia perbuat terhadap
sesame dengan suka mencaci-maki, memfitnah, makan harta secara tidak sah,
menumpahkan darah orang yang dilindungi, serta suka melakukan tindak kekerasan
semisal memukul dan sejenisnya. Hal ini juga sebagai peringatan orang yang
hanya mementingkan keshalihan ritual dan tidak shalih secara social. Bisa juga
sebagai peringatan bagi orang yang ibadah vertikalnya tertib namun tidak
memiliki efek manfaat kepada sesame.
Ketiga, cara penyelesaian kesalahan di atas.
Dikarenakan di akhirat dinar dan dirham sudah tidak laku dan
diberlakukan lagi, maka amal shalihlah sebagai penebus kesalahan-kesalahan yang
telah ia lakukan. Pahala shalatnya, puasanya, zakatnya, dan lain-lain akan
diambil untuk membayar atau menebus kesalahannya. Jika mencukupi tentunya tidak
terlalu bermasalah, namun jika belum mencukupi padahal amal shalihnya telah
habis sementara tuntutan orang yang dirugikan belum selesai, maka dosa orang yang
dirugikan tadi diambil untuk dibebankan pada orang yang berbuat salah tadi.
Singkat cerita orang yang bangkrut di hari akhirat itu memiliki banyak amal
kebaikan namun sayangnya kesalahan pada sesame lebih besar nilainya dari pahala
yang berhasil ia kumpulkan. Nasib akhirnya bisa ditebak, karena amal
kebaikannya habis dan ‘saldo’ dosanya bertambah, maka tempat akhirnya adalah
neraka.
Na’udzu billah min dzalik!
Selanjutnya, agar kita selamat dari kebangkrutan akhirat ada beberapa
hal yang perlu kita lakukan.
Pertama, menjaga hubungan baik dengan Allah SwT dengan berusaha
semaksimal mungkin mengerjakan perintah-Nya dan menjahui segala larangan-Nya.
Kedua, selalu waspada agar jangan sampai (kebanyakan) melakukan
kesalahan dan dosa pada sesame baik berupa ucapan, sikap maupun perbuatan.
Ketiga, selesaikanlah di dunia jika kita memiliki kesalahan pada sesama
dengan jalan menyesali dan meminta maaf kesalahan itu serta kalau perlu
gantilah kerugian itu agar mendapat pengampunan dan kerelaan orang yang kita
rugikan.
Keempat, usahakan bahwa timbangan amal kebaikan kita tetap lebih banyak
dan berat dibanding timbangan dosa dan kesalahan kita baik kesalahan pada Allah
SwT maupun terhadap manusia.
Sumber:
SUARA MUHAMMADIYAH 17/100|1-15 SEPTEMBER 2015 HALAMAN: 40