BUKIT / JABAL UHUD

BUKIT / JABAL UHUD

Jabal Uhud. Sebuah bukit bersejarah sekitar 5 km dari Madinah kea rah Makkah. Ia saksi bisu tentang perang di jalan Allah yang semula meraih kemenangan, namun berujung kekalahan. Dalam perang kedua antara umat Islam dan kaum Quraisy pada 15 Syawal tahun ke-3 Hijriyah itu pejuang Islam mati syaid. Termasuk Hamzah bin Abi Thalib, paman tercinta Nabi.
Perang Uhud sempat meruntuhkan mental kaum Muslimin. Allah kemudian membangkitkan semangat, sebagaiman firman-Nya dalam Al-Qur’an yang artinya, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan jaganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang  yang tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs. Ali Imran [3]: 139). Saat itu sebagian pasukan Muslim tergoda ghanimah dan tidak taat amanah!
Uhud member pelajaran berharga. Umat Islam, hatta ketika Nabi Muhammad berada disamping mereka, dalam perjuangan menegakkan ajaran Ilahi tidak luput dari cobaan berat. Berjuang di jalan Allah itu harus disiplin taat kepada Rasul-Nya, istiqamah dan bermujahadah, serta tidak boleh

MUHASABAH

MUHASABAH
M Husni
Hisablah dirimu sebelum dihisab orang lain. Ajaran kebaikan tersebut sangat mendalam tentang pentingnya setiap Muslim mengenal diri secara hakiki. Mungkin dapat ditambahkan, hisablah diri sebelum menghisab orang lain. Kata pepatah, ketika telunjuk menuju ke hidung orang, sesungguhnya jari tangan yang lain menunjuk diri sendiri.
Memahami diri sendiri memang harus diupayakan. Lumrahnya orang mudah sekali mengenal orang lain, tetapi sering gagal mengenal diri sendiri. Mengenal identitas diri secara jasmani, boleh jadi cukup dengan berdiri didepan cermin. Semua akan gamblang. Namun, mendefinisikan diri secara ruhani, harus dilakukan dengan muhasabah secara serius.
Muhasabah alias instropeksi berarti melakukan peninjauan atau koreksi terhadap kelemahan dan kesalahan diri sendiri. Jangan sampai menyangka diri ini pintar, ternyata bodoh. Jangan sampai mengira diri ini dermawan, ternyata kikir. Jangan sampai menduga diri ini penyabar, ternyata

Iman, Hati, dan Lisan

Iman, Hati, dan Lisan
Bahrus Surur-Iyunk

Dalam sebuah Hadits Rasulullah pernah bersabda yang artinya: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tetangga dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari Muslim)
Hadits riwayat Bukhari-Muslim ini mengisyaratkan adanya keterkaitan antara iman dan lisan, antara keyakinan dan perkataan. Keterkaitan itu bukan hanya terjalin karena iman itu memang harus diucapkan dengan lisan, melainkan juga karena pengejawantahan iman dan takwa itu harus diwujudkan dalam perbuatan dan, terutama, perkataan.
Dalam Qs Al-Ahzab: 70 – 71, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu

TANDA TANDA KEESAAN ALLAH

Tanda-tanda Keesaan Allah (2)
Surat Al-Baqarah ayat 163-164

Bukti lain tentang kekuasaan dan keesaan Allah, sebagaimana disebut dalam Qs. Al-Baqarah [2]:164, terdapat pada pergantian malam dan siang (ikhtilafi-l-lail wa-n nahar). Makna pergantian malam dan siang pada ayat ini yaitu adanya malam setelah siang usai, dan timbulnya siang setelah malam beralu. Bumi, selain bergerak sepanjang orbitnya, juga berputar terhadap dirinya sendiri. Karena semua putaran itu, sisi bumi yang menghadap matahari menjadi terang. Kondisi terang ini disebut siang.
Allah menciptakan malam dan siang untuk mempermudah kehidupan manusia. Jika terjadi siang terus menerus tanpa adanya malam, manusia tidak akan mempunyai waktu khusus untuk tidur yang sangat dibutuhkan bagi kesehatan manusia. Jika terjadi malam terus menerus tanpa ada siang, maka aneka tumbuhan yang memerlukan siang dan malam akan dapat punah dan kehidupan akan ikut punah. Adanya pertukaran siang dan malam memungkinkan manusia dapat mengatur jadwal kegiatan untuk bekerja dan beristirahat secara teratur. Qs. Al-Furqan (25): 47 menyebutkan alas an Allah