Mencegah Kekerasan Atas Nama Agama

Mencegah Kekerasan Atas Nama Agama

Kekerasan atas nama agama mendapat sorotan dalam muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar. Paling tidak ada 4 poin dalam rekomendasi Muktamar yang menyorot tentang kekerasan atas nama agama ini. Dua point dalam isu keumatan, satu point dalam isu kebangsaan dan satu point dalam isu kemanusiaan universal untuk ditindak lanjuti pasca Muktamar ini.
Sumber-sumber kekerasan ini antara lain: takfiri (kecenderungan menkafirkan pihak lain), hubungan Sunni-Syiah, lemahnya toleransi, dan diskriminasi. Keempat hal tersebut patut menjadi perhatian agar kekerasan atas nama agama tidak berlangsung di bumi Allah.
Perkembangan muttakhir menunjukkan gejala meningkatnya perilaku keberagaman yang ekstrim antara lain kecenderungan mengkafirkan pihak lain (takfiri). Di kalangan umat islam terdapat kelompok yang suka menghakimi, menanamkan kebencian, dan melakukan tindakan kekerasan
terhadap kelompok lain dengan tuduhan sesat, kafir, dan liberal.
Kecenderungan takfiri bertentangan dengan watak Islam yang menekankan kasih saying, kesantunan, tawasuth, dan toleransi. Sikap mudah mengkafirkan pihak lain disebabkan oleh banyak factor antara lain cara pandang keagamaan yang sempit, miskin wawasan, kurangnya interaksi keagamaan, pendidikan agam yang eksklusif, politisasi agama, serta pengaruh konflik politik dan keagamaan dari luar negeri, terutama yang terjadi di Timur Tengah.
Mencermati potensi destruktif yang ditimbulkan oleh kelompok takfiri, Muhammadiyah mengajak umat Islam, khususnya warga Persyarikatan, untuk bersikap kritis dengan berusaha membendung perkembangan kelompok takfiri melalui pendekatan dialog, dakwah, yang terbuka, mencerahkan, mencerdaskan, serta interaksi social yang santun. Muhammadiyah memandang berbagai perbedaan dan keragaman sebagai sunnatullah, rahmat, dan khasanah intelektual yang dapat memperkaya pemikiran dan memperluas wawasan yang mendorong kemajuan.
Bagi Muhammadiyah, persatuan bukanlah kesatuan dan penyeragaman tetapi sinergi, saling menghormati dan bekerja sama dengan ikatan iman, semangat ukhuwah, tasamuh, dan fastabiqu al-khairat. Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk mengembangkan sikap beragama yang tengahan (wasithiyah, moderat), saling mendukung dan memperkuat, serta tidak saling memperlemah dan meniadakan kelompok lain yang berbeda.
Sedangkan mengenai hubungan Sunni-Syiah. Akhir-akhir ini energy umat tersedot dalam persoalan pertentangan antara pengikut kelompok Sunni dengan Syiah. Walaupun masih dalam sekala yang relative kecil dan local, kekerasan Sunni-Syiah berpotensi meluas dan mengancam sendi-sendi persatuan umat dan bangsa Indonesia.
Akar konflik Sunni-Syiah sangat kompleks, antara lain karena masalah kesenjangan ekonomi, imbas konflik politik di Irak, Syiria, dan Yaman, serta persaingan pengaruh politik keagaman antara Iran dengan Arab Saudi di Negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Pertentangan semakin tajam ketika ditarik keranah teologis dan sejarah pertumpahan darah diantara pengikut Sunni-Syiah dimasa silam.
Untuk mencegah semakin meluasnya konflik antara kelompok Sunni-Syiah di Indonesia, Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk mengadakan dialog intra umat Islam. Dialog dimaksutkan untuk meningkatkan saling memahami persamaan dan perbedaan, serta membangun kesadaran historis bahwa selain konflik, kaum Sunni dan Syiah memiliki sejarah kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan) dan kerjasama yang konstruktif dalam membangun peradaban Islam.
Muhammadiyah mengajak umat Islam untuk bersikap arif, menghormati semua sahabat dan keluarga Nabi Muhammad dengan tetap memegang teguh kemurnian akidah sehingga tidak terjebak pada pengkultusan individu. Sebagai kekuatan Muslim terbesar di dunia, umat Islam Indonesia harus tampil sebagai penengah dan inisiator dialog.
Bagi Muhammadiyah membawa konflik Negara lain ke Indonesia atas dasar sentiment golongan berpotensi merusak persatuan umat dan bangsa serta lebih jauh dapat melemahkan diri ditengah percaturan politik global. Muhammadiyah meghimbau kepada pemerintah Indonesia untuk mengambil prakarsa dialog diatas prinsip politik bebas aktif dan perjuangan menciptakan pedamaian dunia.
Meredupnya kehidupan keberagamaan yang toleran nampaknya juga akan menjadi titik picu kekerasan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religious dengan ketaatan beribadah dan toleransi yang tinggi.
Tradisi toleransi mengakar kuat dalam sikap dan perilaku saling menghormati dan bekerja sama diantara pemeluk agama yang berbeda. Namun akhir-akhir ini terdapat gejala melemahnya budaya toleransi di Indonesia yang ditandai oleh menguatnya ekstremisme dihampir semua kelompok seperti tindakan penyerangan tempat ibadah dan kekerasan atas nama agama yang seringkali terjadi disejumlah tempat.
Selain karena factor penegakan hukum yang lemah dan kondisi social yang rawan, tumbuhnya ekstrimisme keagamaan juga disebabkan oleh memudarnya budaya toleransi.
Oleh karena itu diperlukan usaha komprehensif oleh Pemerintah dan kekuatan masyarakat madani untuk memperkuat budaya toleransi sebagai bagian dari karakter masyarakat Indonesia.
Usaha memperkuat toleransi tidak cukup dengan memperbanyak aturan formal yang kaku, tetapi menyemai dan menumbuhkan kembali nilai-nilai toleransi, Bhinneka Tunggal Ika, dan agama berbasis keluarga, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga pendidikan formal disertai keteladanan para tokoh agama dan elite bangsa.
Diskriminasi terhadap kelompok minoritas juga dapat memicu kekerasan atas nama agama, meski tidak semua mengarah ke sini. Berbagai peristiwa diskriminasi terhadap minoritas terjadi diberbagai belahan dunia.
Kelompok minoritas etnis, agama, ras dan budaya seringkali mendapat tekanan, intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan oleh kelompok mayoritas. Berbagai perilaku negative seperti rasisme, bahkan pembersihan etnis masih terus terjadi dibeberapa Negara. Kasus terakhir menyangkut kaum Rohingnya, selain karena etnis juga menyangkut agama.
Jika diskriminasi dari mayoritas terhadap minoritas ini tidak dihentikan, maka dunia akan terus dipenuhi dengan kekerasan. Ketika yang minoritas menjadi kelompok besar, maka mereka akan bergantian menindas yang kecil. Maka mata rantai diskriminasi ini harus diputus.
Muhammadiyah memandang bahwa ukhuwah insaniyah sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an menjunjung tinggi kemanusiaan universal tanpa memandang latarbelakang etnis, agama dan unsure primordial lain sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Kehadiran Islam merupakan rahmat bagi semesta alam.
Berpijak pada Sunnah Nabi, Muhammadiyah memandang golongan yang besar (mayoritas) harus melindungi minoritas. Tetapi sebaliknya golongan yang minoritas harus menghormati yang mayoritas. Karena itu, Muhammadiyah kepada seluruh institusi untuk melindungi minoritas.
Selain keempat rekomendasi diatas, masih banyak rekomendasi lain yang diputuskan muktamar. Rekomendasi diatas merupkan poin ke 1, 2, 7 dan 19 dalam keseluruhan rekomendasi.
Rekomendasi Muktamar terbagi menjadi isu keumatan 6 poin (poin 1-6), isu kebangsaan 11 poin (poin 7-17) dan isu kemanusiaan universal 5 poin (poin 18-22). Rekomendasi Muktamar sebagai berikut:
1.       Keberagaman yang moderat
2.       Membangun dialog Sunni-Syiah
3.       Subtansialisasi agama
4.       Meningkatkan daya saing umat Islam
5.       Membangun budaya hidup bersih
6.       Penyatuan kalender Islam
7.       Toleransi dan keruknan antar umat beragama (keberagaman yang toleran)
8.       Melayani dan memberdayakan kelompok difabel
9.       Tanggap dan tangguh menghadapi agama
10.   Membangun budaya egalitarian dan system meritokrasi
11.   Mengatasi krisis air dan energy
12.   Memaksimalkan bonus demografi
13.   Membangun masyarakat ilmu
14.   Menyelamatkan Negara dengan Jihad Konsttitusi
15.   Perang terhadap narkoba
16.   Gerakan berjamaah melawan korupsi
17.   Perlindungan buruh migrant
18.   Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim
19.   Perlindungan kelompok minoritas
20.   Eksistensi manusia di Bumi
21.   Pemanfaatan teknologi komunikasi
22.   Mengatasi masalah pengungsi

Sumber:
SUARA MUHAMMADIYAH 17/100|1-15 SEPTEMBER 2015 HALAMAN: 7 - 8