Memosisikan Budaya dalam Agama

Memosisikan Budaya dalam Agama

Prof Dr H Yunahar Ilyas, LC, MA

Budaya adalah hasil kreativitas manusia, oleh sebab itu dia tidak statis, tapi dinamis, elastis dan fleksibel. Perubahan budaya dapat dipengaruhi oleh waktu, tempat, alam, lingkungan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya berpakaian masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan yang dingin tentu berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah pantai yang panas. Budaya berpakain masyarakat dari negara tropis berbeda dengan budaya berpakain masyarakat yang tinggal di negara yang mengenal empat musim. Pakaian musim panas tentu berbeda dengan pakaian musim dingin.

Jika budaya ingin ditempatkan dalam kategori ibadah, maka dia masuk dalam kategori ibadah 'amah bukan
ibadah khashah. Dalam ibadah khashah atau ibadah mahdah segala sesuatunya sudah diatur secara ketat oleh nash baik Al-Qur'an maupun as-Sunnah atau kedua-duanya sekaligus. Tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Dikurangi jadi batal atau tidak sah. Jika ditambah menjadi bid'ah.  Semua harus dilakukan sesuai tuntutan, harus yuwafiqu as-sunnah. Rumus hukum yang berlaku dalam ibadah khashah adalah segala sesuatu terlarang kecuali apabila ada dalil yang memerintahkannya.

Sebaliknya dalam ibadah 'amah, rumusnya adalah segala sesuatu boleh kecuali yang dilarang. Apakah larangan itu sampai ketingkat haram atau hanya sampai makruh, nanti para ulama ahli fiqih dan ushulnya lah yang menyimpulkannya. Tidak semua budaya harus sesuai dengan Sunnah, tetapi semuanya tidak boleh bertentanggan dengan Sunnah. Kalau dalam ibadah khashah, harus yuwafiqu as-Sunnah, maka dalam ibadah 'amah dimana budaya masuk kedalamnya yang berlaku adalah la yukhalifu as-Sunnah.

Dalam pelaksanaan ibadah mahdah seperti wudhu', shalat, zakat, puasa, dan haji selalu ada aspek budayanya. Kita ambil contoh wudhu'. yang tidak boleh berubah dari pelaksanaan wudhu' adalah rukun-rukunnya. Sejak zaman Nabi Muhammad saw, zaman sahabat, tabi'in dan tabi'it tabi'in kaifiyat wudhu', tetap, tidak akan dan memang tidak akan dan memang tidak boleh berubah. Tetapi budaya wudhu' sudah berkembang sedemikian rupa sesuai zaman segala aspek yang dibawanya. Di desa-desa yang banyak kolam ikannya, masyarakat berwudhu' di kolam itu, dengan mengambil air langsung dengan kedua belah telapak tangannya sambil jongkok. Di masjid-masjid yang ada pancurannya, masyarakat berwudhu' di pancuran sambil berdiri menampung air dengan kedua tangannya. Apabila di masjid sudah ada tempat berwudhu' dengan kran, maka masyarakatpun berwudhu' melalui kran air tersebut. Ada yang sambil berdiri saja seperti di negara kita, tetapi ada juga yang sambil duduk dan dibuatkan tempat duduknya seperti di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan masjid-masjid lain umumnya di negara Arab sana. Semuanya itu adalah budaya. Dinamis, elastis dan fleksibel.

Mendirikan shalat juga demikian. Tata cara atau kaiflyat shalat bersifat tetap, tsabit, tidak boleh berubah-ubah harus sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Tapi budaya berpakain dalam mendirikan shalat berbeda-beda, tidak sama antara satu bangsa dengan bangsa yang lain sesuai dengan budaya mereka masing-masing. Kaum muslimin di Indonesia mengenal sarung, baju koko atau baju taqwa dan pecis htam atau putih, kadangkala ditambah dengan sorban yang dililitkan dileher atau ditutupkan ke punggung atau malah diikatkan di kepala. Kaum muslimatnya mengenal rukuh atau mukena. Model sarung, baju koko, dan pecis juga berkembang dan berbeda-beda, begitu juga model mukena, semuanya itu adalah budaya. Hukunya semuanya boleh kecuali yang dilarang. Jadi tugas kita adalah mencari tahu pakaian apa saja yang dilarang. Misalnya untuk shalat berjamaah jangan memakai t-shirt yang dipunggungnya ada tulisan macam-macam, apakah jargon partai politik, iklan komersial, atau kata-kata lucu seperti yang menjadi trend anak-anak muda. Kenapa tidak dibolehkan, karena akan mengganggu kekhusukan jamaah yang shalat di belakangnya. 

Jika dipastikan tidak ada yang dilarang, tinggal dipertimbangkan mashalah dan manfaatnya, apabila bermnfaat kita lakukan, tetapi apabila tidak bermanfaat apalagi mendatangkan mudharat tentu harus ditinggalkan.

sumber:
SUARA MUHAMMADIYAH 03 / 100 | 1 -15 FEBRUARI 2015