PENGUATAN PERAN POLITIK ISLAM INDONESIA

PENGUATAN PERAN POLITIK ISLAM INDONESIA
Dr H Haedar Nashir, MSi

Kongres Umat Islam Indonesia VI tahun 2015 di Yogyakarta membahas antara lain "Penguatan Peran Politik Islam". Enam poin Risalah Yogyakarta pun telah dideklarasikan ke publik. Agenda tersebut sungguh penting dan strategis menjadi pembahasan dan dicarikan solusinya karena dalam aspek politik, selain ekonomi dan budaya, memang masih dijumpai anomali atau ketidaknormalan dalam hal kehidupan politik umat Islam di Republik ini.
Ada apa dengan politik umat Islam? Menurut Ketua Umum MUI Pusat yang juga Ketua PP Muhammadiyah, Prof HM Din Syamsudin, pada Iftitah Kongres, bahwa jumlah umat Islam secara Demografis tidak tercermin dalam peran politik. Selain itu, terdapat kesenjangan yang lebar antara elemen
partai politik Islam dan ormas Islam, terjadi kemunduran dibidang politik karena tidak adanya strategi kebudayaan, yang diperparah oleh demokrasi liberal yang berkembang di Indonesia sejak reformasi.

Masalah umat Islam tersebut tentu tidak boleh dibiarkan dengan pembenaran bahwa aspirasi umat Islam tidak harus ke partai politik Islam, disamping pandangan lain bahwa partai politik Islam bukanlah representasi utama dari aspirasi umat Islam. Jika umat Islam indonesia mampu memilih partai politik Islam dan pada saat yang sama partai politik Islam pun mampu mewakili kepentingan politik umat Islam dengan jumlah suara yang signifikan, apakah hal tersebut tidak merupakan sesuatu yang baik bagi masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia?

Anomali Politik Islam
Jumlah penduduk beragam Islam di Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik pada tahun 2010 ialah sebesar 209.286.151 (88,1%) dari total 237.556.364 jiwa. Suatu jumlah yang fantastis dibading dengan negara manapun, sehingga Indonesia sering disebut sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Bandingkan dengan pemeluk Kristen sebesar 14.517.766 (6,1%) dan Katholik 7.549.874 (3,2%). Jika diproyeksikan pada tahun 2015 diperkirakan jumlah umat Islam sekitar 221 juta (87%) dari total 250 juta. Artinya secara demografi mereka yang beragama Islam merupakan mayoritas terbesar di Republik ini.
Namun ironi bahwa jumlah mayoritas secara demografis tersebut tidak berbanding lurus dengan kekuatan politik Islam. Pada Pemilu 2014 yang memilih partai politik Islam ternyata hanya sebesar 37.418.270 atau 29,93%. Dengan kata lain mayoritas penduduk Indonesia yang bagian terbesarnya umat Islam itu lebih memilih partai lain ketimbang partai Islam. Keadaan tersebut jelas anomali, karena selain soal afiliasi pada partai politik Islam, juga terdapat basis kekuatan Islam yang berakar pada organisasi kemasyarakatan seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.

Menurut asumsi dan pandangan banyak kalangan, Muhammadiyah dan NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang memiliki pengaruh dan dukungan massa yang besar. Menurut Ketum PBNU, Aqil Siradj, warga NU lebih dari 84 juta, merupakan "kekuatan politik dan kultural umat Islam Indonesia" dan "kekutan strategis untuk kemajuan Indonesia" (Republika, hal 1, 1/2/2014). Pertanyaannya adalah, benarkah ormas Islam merupakan kekuatan strategis yang real yang menentukan merah putihnya Indonesia?. Klaim angka yang sepektakuler tersebut selain sulit menembus hegemoni pencapresan juga sering kalah dari tokoh "nasionalis sekuler", meski kefiguran dan kualitas dirinya jauh lebih hebat.
Ketimpangan tersebut tentu bayak sebabnya. Pertama, secara faktual boleh jadi parta politik Islam tidak menarik sehingga tidak menjadi pilihan mayoritas Muslim. Kedua, politik identitas sangat longgar dikalangan umat Islam, sehingga antara yang berorientasi politik formal dan substansi masih kuat keterbelahannya. Ketiga, pengaruh keragaman paham, golongan, dan kepentingan yang cukup majemuk dikalangan umat Islam yang berimbas pada pilihan politik.

Potensi Politik Islam
Parpol Islam di Indonesia meskipun tidak signifikan mewakili aspirasi umat Islam secara demogrfis, sebenarnya jika dihimpun dalam aliansi dan koalisi strategis cukup memadai untuk berperan secara politik. Partai politik Islam yang dimaksudkan ialah dua kategori, yaitu pertama partai yang secara formal menamakan dirinya parta Islam dengan asas Islam seperti PPP dan PKS. Kedua, partai politik berasas Pancasila tetapi memiliki basis konstituen terbesar pada kelompok Islam dan memiliki hubungan kedekatan tertentu dengan organisasi kemasyarakatan Islam seperti PAN dan PKB.
Potensi politik Islam sebenarnya relatif memadai ditakar dari perkembangan jumlah suaranya pada setiap babakan sejarah. Dari pemilu ke pemilu kelompok Islam politik memiliki modal politik yang memadai. Pemilih parpol Islam tampaknya berasal dari kelompok santri, yang jika dibandingkan dengan kelompok abangan dalam kategorisasi varian Clifford Geertz, memang jumlahnya lebih sedikit. Namun meskipun tidak mayoritas jika suara politik Islam itu dikelola secara kolektif dan solid, maka akan melahirkan kekuatan politik yang cukup diperhitungkan.

Jika kekuatan politik Islam yang ada dikisaran 30% itu disinergikan dalam aliansi atau koalisi strategis yang solid maka hasilnya akan signifikan dalam perpolitikan di Indonesia. Aliansi strategis tersebut tentu tidak harus dimaknai satu wadah politik Islam, tetapi lebih pada membangun kesepakatan politik berupa "koalisi permanen" dengan satu agenda meraih kekuasaan dalam pemerintahan. Tentang formatnya dapat dibicarakan bersama sehingga mampu menghadirkan peran politik Islam yang strategis dan relatif mewakili aspirasi umat Islam yang sadar akan identitas ke-Islamannya.
Memang menuju kearah aliansi strategis dan koalisi permanen antar partai dan kekuatan politik Islam itu tidak mudah. Sejumlah masalah klasik masih melekat dalam hudaya politik umat Islam, antara lain. Pertama, kekuatan Islam baik ormas maupun parpol tidak memiliki komitmen yang kuat dan frame yang jelas untuk menyatukan kekuatan strategis, meskipun potensinya secara politik dan kultural tersedia. Kedua, ukhuwah sesama kekuatan umat Islam lebih banyak simbolik dan parsial, bahkan cenderung non-komplementer seperti air dan minyak, hal itu mennjukkan lemahnya ukhuwah autentik dan strategis yang dapat menyatukan potensi kolektif. Ketuga, kecenderungan lain, sebagian kalangan Islam sering mudah "berkawan" dengan pihak lain ketimbang dengan sesama golongan Islam sendiri, meski pernyataan ini tidak harus dibaca sebagai sikap ekslusif dan anti inklusif.  Keempat, tradisi saling dukung dan power-sharing tampak rendah. Terdapat perilaku politik yang cenderung zero sum-game dari ormas dan parpol Islam, yaitu manakala salah satu memperoleh kekuasaan di pemerintah memiliki penyakit suka "menghabisi" sesamanya.

Karenanya menjadi sangat penting dan mendesak agar seluruh kekuatan politik dan ormas Islam pasca Konggres Umat Islam Indonesia 2015 ialah duduk bersama membahas dan menemukan titik temu untuk membangun aliansi dan koalisi strategis. Tiga agenda penting antara lain, pertama merajut format aliansi strategis secara obyektif. Kedua, mengembangkan potensi dan pembagian peran bersama secara besinergi yang diwujudkan dalam kerja kolektif yang konkret. Ketiga, merumuskan strategi politik, ekonomi, dan kultural bersama. Semuanya demi kejayaan umat dan bangsa dalam misi utama Islam menyebarkan risalah rahatan lil-'alamin.

sumber:
SUARA MUHAMMADIYAH 05 / 100 | 1 - 15 MARET 2015