MEMBANGUN ALIANSI STRATEGIS UMAT ISLAM

 MEMBANGUN ALIANSI STRATEGIS UMAT ISLAM

Konggres umat Islam 7-8 November 1945 di madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, melahirkan "consensus of Islamic politic" bernama Majelis Syura Muslimin Indonesia. Saat itu kekuatan politik umat Islam sempat diperhitungkan.
Sejarah panjang pergulatan umat Islam di Indonesia seharusnya membawa umat Islam diposisi yang terhormat. Sejak era kerajaan, di era kolonial, dan diawal proklamasi kemerdekaan, umat Islam Indonesia selalu tercatat sebagai penentu.
Umat Islam adalah elemen utama pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang harus senantiasa menjaga dan mempertahankan NKRI sebagai sebuah hasil mujahadah politiknya yang bersifat final dan mengikat.
Namun, melihat perkembangan kondisi umat Islam Indonesia terkini, umat Islam justru terkesan, menjadi
entitas yang tertinggal dalam segala bidang kehidupan. Di bidang ekonomi, teknologi, hingga masalah politik, umat Islam Indonesia nampak rapuh dan selalu terpinggirkan. Terserak menjadi kekuatan yang terserpih.

Melihat semua kenyataan yag tergelar, tampaknya umta Islam membutuhkan instrumen gerakan yang integral dan mampu mengakomodasi kepentingan Islam. Kekuatan umat Islam Indonesia harus bisa dipersatukan, dipertemukan, dan diselaraskan sehingga mewujudkan kondisi umat Islam yang rukun, bersatu, dan bersahaja.
Kalau harapan ini bisa diwujudkan, umat Islam pasti akan bisa berbuat lebih banyak. Potensi ekonomi umat Islam yang sebetulnya sangat besar menjadi tidak akan terus terpinggirkan. Dengan demikian, mayoritas umat Islam Indonesia tidak akan terus-menerus menjadi masyarakat yang marginal yang tidak diperhitungkan.
Umat Islam Indonesia akan segera keluar dari jebakan klaster ekonomi konsumen. Umat Islam sudah seharusnya berhenti dari statusnya sebagai pasar semata. Umat Islam Indonesia sudah seharusnya mulai merambah menjadi produsen.
Keterpinggiran umat Islam dari dunia politik dan ekonomi umat, selama ini juga membawa dampak serius dalam masalah identitas peradaban dan sosial budaya umat Islam Indonesia.
Mislanya dalam hal kebijakan tata ruang telah terjadi pergeseran paradigmatik terhadap dimensi spiritual dan filosofi ke-Islaman. Dimensi religi dan spiritual Islam di sektor tata ruang publik menjadi terpinggirkan.
Dari proyek real estate, pembangunan hypermarket, hingga kawasan pusat industri. Perlahan namun pasti semakin menghilangkan identitas Islam dalam konteks kebijakan tata ruang.

Masjid, alun-alun, perguruan Islam, semakin terdesak oleh pembangunan fasilitas publik yang berciri hedon dan konsumeristik. Bahkan rasio ketersediaan fasilitas rumah ibadah umat Islam sebagai penduduk masyarakat sendiri telah disalip oleh jumlah rumah ibadah umat beragama lainnya.
Jika umat Islam tidak tegas dalam hal penguatan identitas tata ruang, maka simbol-simbol peradaban Islam baik yang bersifat fisik maupun spiritual akan semakin tergerus dan hilang. Umat Islam Indonesia akan mengalamai kehilangan identitas peradaban Islam di negeri sendiri.
Dalam konteks inilah, mensinergi kekuatan Islam di Indonesia menjadi mutlak untuk dilakukan. Hanya dengan inilah martabat dan kekuatan umat Islam dapat dipulihkan. Hanya dengan mensinergikan kekuatan yang ada sajalah umat Islam dapat memperkokoh peran politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Indonesia yang lebih berkeadilan dan berperadaban hanya diwujudkan dengan terwujudnya aliansi strategis umat Islam. Tanggal 8-11 Februari 2015 yang lalu, dengan diprakarsai MUI, Konggres Umat Islam Indonesia (KUII) kembali digelar di Yogyakarta. KUII VI untuk menjawab sebagian dari problem bangsa tersebut.

sumber:
SUARA MUHAMMADIYAH 05/100 | 10-24 JUMADILAWAL 1436 H