LANDSCAPE ISLAMI YANG BERKEMAJUAN

 LANDSCAPE ISLAMI YANG BERKEMAJUAN

Ketika orang naik ke pencakar langit di Jakarta, mereka mempunyai persepsi masing-masing. Ada yang takut ada pula yang senang dapat melihat pemandangan yang menakjubkan sekaligus bangga sudah dapat naik ke pencakar langit tertinggi. 
Tetapi ada pula yang melihat didasari pada kondisi lingkungan seperti yang dilakukan Presiden Jokowi dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Dr KH Yunahar Ilyas, Lc, MAg, meski persepsi mereka terhadap lingkungan juga berbeda.
Prof Dr Yunahar Ilyas sebagai seorang ulama, melihat lingkungan berdasar, pemahaman agama yang dimilikinya, sedangkan Presiden Jokowi melihat lingkungan dengan kacamata kesejahteraan rakyat.

Yunahar melihat saat ini ada perubahan landscape di Jakarta, kalau dahulu banyak masjid tersebar di Jakarta, kini yang terbanyak gedung-gedung pencakar langit dan masjid mulai menipis. Ini karena masjid dan masyarakatnya tergusur oleh penakar langit yang terus bermunculan.

Lain lagi dengan Jokowi, Presiden RI ini melihat dengan kacamata kesejahteraan rakyat yang dipimpinya. "Coba kita naik ke gedung tertinggi pencakar langit di Jakarta, kemudian kita turun ke daerah Tanah Tinggi atau ke daerah kumuh lainnya," ujarnya.
Menurutnya yang terjadi sangat jauh berbeda suasananya. Dari sini terlihat kesenjangan yang sangat jauh di Jakarta, antara yang dipencakar langit dengan yang di daerah kumuh. Ini belum yang terjadi di luar Jakarta. Meski dengan kacamata yang berbeda, antara Presiden Jokowi yang umara dengan Prof Yunahar Ilyas yang ulama, tetapi sebetulnya mereka melihat masyarakat yang sama dengan sudut pandang yang berbeda. Mereka sama-sama memotret masyarakat Jakarta yang umumnya beragama Islam.
Mereka melihat masyarakat Islam yang mulai terpinggirkan. Jokowi melihat masyarakat yang miskin dipinggirkan karena munculnya kapitalis yang membangun yang membangun gedung pencakar langit, sedangkan Yunahar melihat masjid yang menipis karena jamaahnya yang tergusur.
Hilangnya masjid-masjid di sejumlah kawasan ini, menurut Yunahar Ilyas sangat memprihatinkan. Sebagai negara yang mayoritas Islam, jumlah dan besarnya masjid di Indonesia merupakan ikon (lambang) tersendiri bagi umat Muslim Indonesia.
Masjid-masjid yang ada mulai tenggelam oleh lingkungannya. Sebagai sebuah ikon tak lagi membanggakan. Apalagi jika dibandingkan dengan ikon-ikon agama lain, seperti Borobudur untuk Budha dan Prambanan untuk Hindu. Kondisi ini, karena lanscape (tata ruang) yang tidak mendukung. 
Hal yang sama yang disampaikan oleh cendikiawan Muslim, Prof Dr Komarudin Hidayat. Menurutnya, perlu ada ikon baru umat Islam di Indonesia yang lebih membanggakan. Sebagai seorang yang bergelut dibidang ilmu, Komarudin dan kawan-kawan merencanakan akan membuat sebuah ikon baru di Indonesia.

Ikon ini berupa pusat ilmu pengetahuan, sehingga nantinya orang akan belajar Islam di Indonesia. Mesir punya Al Azhar, Indonesia yang penduduk Islamnya terbesar di Indonesia tidak punya pusat ilmu ini.
Keprihatinan masalah landscape (tata ruang) yang cenderung tidak Islami ini juga disampaikan oleh Prof Dr  Soejoto Usman dari UGM. Menurutnya tidak hanya jakarta yang memprihatinkan. Tetapi di Yogyakarta yang memiliki kesultananpun juga memprihatinkan.
"Ini sudah saya sampaikan puluhan tahun lalu. Tetapi tidak banyak mendapat perhatian, "katanya. Menurutnya, munculnya perumahan-perumahan baru sering mengabaikan keberadaan Masjid di dalamnya. 
Bahkan di Aceh yang memiliki keistimewaan wilayah karena Islam, menurut Prof Dr Alyasa Abubakar yang ulama Nangroe Aceh Darusalam, juga kurang memperhatikan landscape yang Islami. Kesempatan untuk memperbaiki landscape pasca tsunami juga tidak dapat dilakukan.
Ini karena tanah-tanah tersebut sudah dimiliki oleh penduduk. "Kita kan tidak dapat memaksa seseorang untuk mendirikan ini atau itu, karena kemampuan mereka masing-masing berbeda," ujarnya.
Meskipun tidak dapat maksimum, masih ada juga usaha upaya dibeberapa daerah membangun ikon Muslim yang membaggakan masyarakat Islam di daerah tersebut. Ini sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Jawa Tengah dengan Masjid Agung Jawa Tengahnya dan Pemerintah Kalimantan Timur dengan Islamic Centre yang berdiri megah di tepi sungai Mahakam.
Saat inipun pemerintah Sumatera Utara tengah merencanakan ikon Islam di daerahnya.
Menurut Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, penduduk Sumatera Utara masih myoritas Muslim bukan Kristen sebagaimana orang mengira.
Untuk memperlihatkan suasana ini, pemerintah Sumatera Utara akan membangun Islmic Centre tempat-tempat strategis sebagai ikon Islam yang baru. Selain Istana Maimun yang mulai pudar. Icon baru ini akan ditempatkan di arah Bandara Kualanamu dan arah Pelabuhan.

Tergusurnya ikon Muslim dan kurang tertatanya landscape Islami terebut, banyak dipengaruhi oleh upaya kapitalisasi di Indonesia. Kapitalisasi ini pula yang menyebabkan melebarnya jurang kesenjangan di Indonesia anatar kaya dan miskin, sebagaimana digambarkan oleh Presiden Jokowi ketika melihat Jakarta.
Lagi-lagi umat Islam yang jadi korban dari kapitalisasi, mayoritas Muslimlah yang berada di wilayah miskin.
Ini dibenarkan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman, mayoritas kue ekonomi dirasakan oleh non Muslim. Dari data yang ada menurut Irman Gusman, 50 orang terkaya yang menikmati mayoritas kue kekayaan, hanay 10 orang yang beragama Islam. Yang miskin tentu lebih banyak.
Karenanya, menurut pengamat ekonomi Dr Hendri Saparini, pemerintah perlu memacu pemerataan ketimbang pertumbuhan. Peluang-peluang usaha untuk menengah ke bawah harus terus dibuka. Ormas Islam harus terus mendorong hal ini. Upaya ini akan dapat meningkatkan kesejahteraan umat dan mempersempit jurang kesenjangan.
Upaya untuk memadukan antara landscape dengan kesejahteraan umat bukan tidak ada. Paling tidak ini dilakukan oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Anwar Anas. Upaya menata ruang ini, menurut Abdullah Anwar Anas, merupakan strategi jitu, bukan saja untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga untuk mengurangi kemaksiatan, tanpa menghambat kemajuan.

"Dua puluh tahun kami berjuang untuk memerangi kemaksiatan, setiap kali ingin membuat perda (peraturan daerah) anti maksiat  selalu saja ditolak," kata Bupati Banyuwangi. Akhirnya ia mengubah strategi melalui perda tata ruang. "Alkhamdulillah dengan perda tata ruang ini, kemaksiatan mulai bisa diminimalisasi" ujarnya.
 Dengan perda ini, pariwisata yang dibangun di Banyuwangi jauh dari kehidupan malam yang cenderung maksiat. Konsep ini sebetulnya mengacu dengan Langkawi Malaysia, di mana pariwisata yang dibangun dengan budaya Islam tanpa kehidupan malam ternyata mampu menyedot wisatawan jauh lebih banyak ketimbang Bali.
Dan ternyata betul, upaya ini selain mampu mengurangi kemaksiatan juga mampu menaikkan kesejahteraan masyarakat dan menaikkan pendapatan perkapita. Msyarakat berkemajuan dan tetap Islami.

sumber:
SUARA MUHAMMADIYAH 05/100 | 10 - 24 JUMADILAWAL 1436 H