Qurban sebagai Aktualisasi Tauhid Cinta
Muhbib Abdul Wahab
Salah satu ujud ketauhidan manusia adalah cinta pada Allah
(“tauhid cinta”). Karenanya manusia perlu dididik untuk mengaktualisasikan
“tauhid cinta”. Cinta kepada Allah itu harus murni dan tulus. Allah tidak
diduakan. Bercinta dengan Allah tidak boleh dibarengi dengan perselingkuhan
teologis.
Tahid cinta harus dibuktikan dengan kesediaan dan ketulusan
berkurban. Salah satu pendidikan tauhid cinta ini melalui ibadah Qurban.
Ibadah Qurban merupakan salah satu jejak Nabi Ibrahim as.
Nabi Ibrahim as diperintahkan oleh Allah “menyembelih anak kandung yang sangat
dicintainya, Ismail as.
Mengapa yang dikurbankan itu yang dicintainya? Karena,
manusia seringkali terjebak pada cinta dunia, cinta harta, cinta anak, cinta
wanita, dan cinta kekuasaan, sementara lupa adanya cinta abadi,
yaitu cinta
Ilahi.
Selain itu, qurban (yang berarti pendekatan diri) juga
merupakan tolok ukur cinta seseorang hamba kepada Tuhannya. Jika panjang jarak
dan luas diukur dengan meter, kilometer atau mil, berat diukur dengan kilo,
kwintal dan ton, kadar emas diukur dengan karat, maka kadar cinta kepada Allah diukur
dengan keikhlasan hamba mengurbankan “Ismail” yang dimiliki sekaligus
dicintainya.
Singkatnya, jangan berharap meraih cinta sejati atau cinta
Illahi, jika tidak ada pengurbanan yang ikhlas sepenuh hati! Pengurbanan sangat
perlu untuk membuktikan adanya cinta.
Kadar cinta Ibrahim kepada Allah yang luar biasa tulus itu
terbukti membuahkan cita-cita yang indah. Ismail tidak jadi disembelih, tetapi
diganti oleh Allah dengan domba yang besar. Hal ini juga member pelajaran bahwa
manusia, seperti Ismail, yang dicita-citakan ayahnya untuk meneruskan
perjuangannya, tidak layak dikurbankan. Terlalu mahal manusia untuk dijadikan
kurban. Biarlah hewan-hewan saja yang dikurbankan, agar manusia tidak lagi
berperilaku seperti hewan kurban.
Jadi, pengurbanan Ibrahim menunjukkan bahwa manusia harus
dihormati, dihargai, dicerdaskan, diberdayakan, dan dicerahkan masa depannya. Bukan
disikapi dengan kekerasan, penindasan, pelecahan, apalagi dijadikan sebagai
kurban.
Jadi, kurban sejatinya adalah humanisasi, penyelamatan
manusia agar tidak dikurbankan atas nama pembangunan, atas nama kepentingan ideology
tertentu, dan sebagainya.
Demikian pula dalam ibadah haji, jamaah haji juga belajar
mengaktualisasikan tauhid cinta. Ini terlihat dalam episode Mina dalam
menjalankan ibadah Haji. Setelah jamaah haji itu meraih ‘arafah insaniyyah dan ‘arafah
ilahiyyah, jamaah haji perlu didik untuk mengaktualisasikan “tauhid cinta”.
Karena itu, demi tauhid cintanya itu, jamaah haji harus siap
berjuang dan berkurban di Mina dengan melempar jumrah. Mina berarti cinta dan
cita-cita. Nabi Ibrahim as diperintahkan oleh Allah “menyembelih” anak kandung
yang sangat dicintainya, Ismail as sebagaimana diaktualisasikan dalam ibadah
kurban. Karena itulah, hakikat Idul Adha dengan anjuran menyembelih hewan bukan
terletak pada darah yang dialirkan dan daging yang dimakan atau dibagikan,
melainkan pada ketulusan cinta dan takwa hamba kepada Allah. Allah berfirman Qs
Al-Hajj [22]: 37 yang artinya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali
kali tidak dapat mencapai (keridhaa) Allah, tetapi takwa dari (lubuk hati)-mu-lah
yang dapat mencapainya.”
Dengan demikian, Qurban merupakan aktualisasi tauhid cinta. Ibadah
Qurban merupakan ujian kehidupan sekaligus tolok ukur cinta hamba yang harus
dimodali ketulusan hati, kebersyukuran, dan kesabaran. Dengan tauhid cinta
Ilahi sejati, kita diharuskan mampu mengorbankan egoisitas. Karena itu, tidak
mungkin mencintai Allah, apabila lebih mencintai egoisitas dan individualitas,
baik berupa cinta anak, cinta harta, cinta tahta, dan sebagainya. Sebaliknya,
apabila kita mampu mencintai Allah melebihi cinta kita kepada yang lain,
niscaya kita juga akan dapat mencintai dan menyayangi sesame. Artinya, dengan
mengurbankan nafsu kebinatangan dan egoisitas, kita akan dapat meraih cinta
Allah; dan dengan cinta Allah itu kita akan dapat meraih cita-cita luhur dan
mulia dalam hidup ini. Itulah esensi aktualisasi tauhid cinta.
SUARA MUHAMMADIYAH 18/100|16-30 SEPTEMBER 2015 HALAMAN: 39