Topologi Anak Menurut Al-Qur’an
Banyaknya kasus kekerasan pada anak di berbagai tempat dengan kualitas
kekerasan yang kian meningkat, telah melahirkan keprihatinan yang mendalam pada
setiap orang yang memiliki kepedulian akan nasib anak-anak dan masa depan
mereka. Ketika Islam yang sempurna diturunkan kepada Nabi Muhammad saw di
Jazirah Arab, ternyata dunia anak di kawasan tersebut dinaungi mendhung tebal
kegelapan karena kasus pembunuhan hidup-hidup terhadap anak-anak perempuan yang
dilegalkan oleh tradisi jahiliyah yang menganggap anak perempuan sebagai
pembawa sial dan kehinaan bagi orang tuanya.
Akhirnya tradisi jahiliyah tersebut diberantas tuntas oleh Islam. Firman
Allah SwT dalam surat-Takwir ayat 8-9 yang artinya:
“ apabila
bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia
dibunuh.”
Islam datang dengan pengasuhan anak yang sangat jelas. Masa depan anak
yang gemilang dunia-akhirat sebagai anak shalih dipersiapkan sejak dini, bahkan
sampai kepada doa-doa terbaik untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Karena itu,sangatlah
penting untuk memperhatikan pandangan Al-Qur’an tentang lima setatus anak bagi
orang tuanya sebagaimana berikut.
Pertama, anak sebagai hiasan hidup dunia. Sebuah rumah tangga terasa
belum lengkap jika tidak ada anak-anak di dalamnya. Dalam hal ini Allah SwT
berfirman dalam Q.S. al-Kahfi: 86 yang artinya:
“ Harta dan
anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi
shalih adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.”
Kedua, status anak sebagai fitnah atau ujian. Orang tua harus menyadari
bahwa hidup ini dijadikan Allah SwT sebagai ladang ujian keburukan maupun
kebaikan, termasuk melalui media anak.
Karena merupakan ujian, maka hasil akhir yang diinginkan adalah lulus
ujian. Realitas lapangan menunjukkan, ada orang tua yang sukses dalam kedua
jenis ujian tersebut, tetapi ada pula yang sebaliknya, di samping juga ada yang
sukses atau gagal disalah satu jenis ujian tersebut.
Allah SwT berfirman dalam surat at-Taghaabun ayat 15 yang artinya:
“Sesungguhnya
hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah lah pahala yang
besar.”
Ketiga, status anak sebagai factor pelalai. Banyak orangtua yang
menyatakan bahwa mereka bekerja keras membanting tulang adalah demi masa depan
anak-anak mereka.
Kenyataan menunjukkan bahwa, sebagian diantara mereka justru diperbudak
oleh pekerjaan, sedangkan pengawasan terhadap perkembangan anak di masa
pertumbuhan menjadi terabaikan.
Karena itulah Allah SwT mengingatkan
dalam Q.S. al-Munaafiquun ayat 9 yang artinya:
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang rugi.”
Keempat, status anak sebagai musuh bagi orangtuanya, baik fisik maupun
non fisik. Tentu saja yang dimaksud anak disini adalah termasuk orang-orang
dewasa yang sesungguhnya mereka tetaplah berstatus anak bagi orang tuanya.
Allah SwT berfirman dalam Q.S. at-Taghaabun ayat 14 yang artinya:
“Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya diantara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang
menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…..”
Kelima, status anak sebagai cahaya mata atau penyejuk pandangan. Anak dengan
status seperti inilah yang diimpikan, didambakan, dan di cita-citakan oleh
semua orang tua.
Sebagaimana terabadikan dalam
surat al-Furqaan ayat 74 yang artinya:
“ Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
SUARA MUHAMMADIYAH 18/100|16-30 SEPTEMBER 2015 HALAMAN: 31 -
32