HAJI MABRUR
Memasuki bulan-bulan haji seperti sekarang ini, ungkapan
haji mabrur menjadi salah satu kata yang begitu popular di masyarakat, terutama
sebagai doa bagi sebagian diantara kita yang akan menuanaikan rukun Islam yang
kelima ini. Telah menjadi kultur sebagian masyarakat jika akan menunaikan
ibadah haji melakukan “ritual” walimatussafar dan pasti kata “haji mabrur”
menjadi kata yang dominan terucap diantara nara sumber dan setiap orang yang
hadir pada acara tersebut. Hal itu wajar saja mengingat sabda Nabi Muhammad saw
bahwa haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.
Jika mengacu pada kitab-kitab fiqh, khususnya bab haji, kata
mabrur hamper selalu diartikan sebagai maqbul, yang berarti “diterima”. Haji
mabrur berarti haji yang diterima, maksudnya diterima oleh Allah SwT. Jika haji
dipahami pada konteks ini, berarti manusia di dunia ini selamanya tidak pernah
mengetahui diterima atau tidaknya oleh Allah SwT. Sebab diterima atau tidaknya
ibadah seseorang oleh Allah SwT adalah wilayah eskatologi (ukhrawi) yang
sepenuhnya hanya Dia yang tahu. Padahal agama tidak boleh hanya
terimplementasikan untuk wilayah yang bersifat eskatologis saja, tetapi harus
membumi pada konteks antropologis (kemanusiaan).
Pada konteks antropologis ini, menarik untuk menerima
penjelasan Nabi Muhammad saw sebagaimana diungkap oleh Sayyid Sabiq dalam kitab
Fiqh as-Sunnah yang mengatakan bahwa birruhu ith’am ath-tha’am walayyin
al-kalam (mabrur itu member makan dan lembut perkataan). Simple sekali Nabi
menjelaskan kata mabrur, yaitu orang yang suka member makan dan lembut dalam
perkataan. Suka member makan melambangkan sikap dermawan, sedangkan lembut
perkataan berarti ucapan-ucapannya tidak pernah menyakitkan orang lain. Simple
memang didengarnya, tetapi tidak demikian untuk dipraktikkannya.
Penjelasan Nabi saw di atas senada dengan makna kata al-birr
sebagai akar kata al-mabrur (yang diberi kebaikan). Kata al-birr adalah satu
dari sekian banyak kata yang oleh Toshihiko Isutzu dikatan sebagai ungkapan
etika keagamaan dalam Al-Qur’an. Jika etika dipahami sebagai teori tentang
“baik” dan “buruk” maka konsep etika keagamaan dalam Al-Qur’an selain
terekspresi dalam kata al-birr juga terdapat dalam kata shalih, ma’ruf, hasan,
thayyib, dan halal. Semua kata tersebut mengandung makna baik (good). Sebaliknya,
kata-kata fasad, munkar, syarr sayyiah, khabbits, haram, dan itsm mengandung
makna buruk (bad).
Kata al-bir memiliki makna yang strategis bagi upaya
pengembangan keshahihan social dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari maknanya
yang tidak saja berdimensi kebaikan vertical (the act of rendering religious
service to god). Tetapi berdimensi horizontal (emphasis to justice and social
life).
Ungkapan haji mabrur yang sangat popular itu berasal dari
kata al-birr ini, tetapi nampaknya jarang jika bukan tidak pernah pemaknaan
haji mabrur melalui kata al-birr ini. Maka wajar jika implementasi keshahihan social
ibadah haji seperti kurang terwujud sebagaimana mestinya. Kata al-birr terdapat
dalam 6 (enam) ayat masing-masing dalam surat Al-Baqarah ayat: 44, 177, dan
189, Surat Ali Imran: 92, Al-Maidah: 2, dan Al-Mujadilah: 9, Variasi-variasi
lain dari kata ini seperti barar,
tabarru, dan abrar terdapat dalam Qs Al-Mumtahanah: 8, Ath-Thur: 28, Maryam:
115, Al-Infithar: 13, Al-Muthafifin: 18 dan 22, serta Al-Baqarah: 224. Keseluruhan
kata al-birr dan variasinya berjumlah 18 ayat.
Memahami secara tegas makna kata al-birr ini agak sulit
bahkan kata ini merupakan salah satu istilah moral Al-Qur’an yang paling elusive.
Sebab banyak istilah lain dalam Al-Qur’an yang memiliki makna serupa , seperti
kata hasan, khair, shalihat,ma’ruf, dan thayyib.
Toshihiko Isutzu mengatakan, bahwa kata al-birr inisangat
variatif. Penterjemahan kata ini dalam bahasa Inggris adalah Piety
(keshalihan), righteousness (kebajikan, kebenaran, dan keadilan) kata yang
sangat shahih al-birr memiliki kekhasan makna pada dua unsur yakni berbuat baik
dan adil sesame manusia dan ketaatan kepada Allah. Ayat Al-Qur’an yang terdapat
kata al-birr dan variasinya selalu menjelaskan tentang keseimbangan antara
keshalihan ritual kepada Allah dan keshalihan social kepada sesama.
Sangat besar harapan
kita semua, jamaah haji Indonesia yang jumlahnya ratusan ribu tiap tahunnya dan
merupakan jumlah jamaah haji terbesar di dunia, sekembalinya dari tanah suci
nanti tidak saja ibadah ritualnya yang bertambah baik, tetapi juga dirinya akan
membawa, manfaat, kebaikan, dan kebahagiaan untuk semua. Semoga.
SUARA MUHAMMADIYAH 18/100|16-30 SEPTEMBER 2015 HALAMAN: 41